PENYELESAIAN SENGKETA RESTRUKTURISASI KREDIT BAGI DEBITUR TERDAMPAK PANDEMI COVID19 MELALUI NEGOSIASI
Disusun Oleh John Ganesha Siahaan, Sekretaris Tim Advokasi Debitur Terdampak Pandemi Covid19 Perkumpulan Lembaga Pusat Dukungan Kebijakan Publik ( PDKPBABEL / elpdkp).
Lampiran : Surat Keputusan Badan Pengurus Perkumpulan PDKPBABEL
ABSTRAKSI
Pada saat, Maret 2020 Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menyatakan bahwa Indonesia telah terjangkit Pandemi Covid19, sejumlah 228 debitur perbankan dan non perbankan mengajukan permohonan bantuan hukum negosiasi Restrukturisasi Kredit melalui Advokat dan Paralegal dari LBH Perkumpulan PDKPBABEL.
Secara tidak terduga debitur mengalami penurunan kemampuan berprestasi dikarenakan penghentian aktifitas ekonomi disisi lain sekalipun masih memiliki uang simpanan tetapi secara praktis harus mengorbankan kemampuannya untuk meningkatkan pendanaan rumah tangga untuk mempertahankan hidup baik diri sendiri dan keluarganya dari ancaman kematian terjangkit virus corona maupun resiko pemiskinan dari kehilangan pekerjaan atau penutupan kegiatan usaha selama pembatasan sosial berskala besar sebagai protokol penanganan Pandemi Covid19.
Negosiasi dengan menggunakan pendekatan norma Keadaan Memaksa / Overmacht / Overmacht didalam Pasal 1244, 1245 dan 1254 KUHPERDATA tidak serta merta dapat ditanggapi Kreditur sebagai alasan undang-undang yang memungkinkan terjadinya Skenario Restruturiasi Kredit yang mampu dilaksanakan oleh Debitur. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan negosiasi restrukturisasi kredit bagi debitur terdampak Pandemi Covid19 dengan menggunakan pendekatan hukum.
Kata Kunci / Keyword
Pandemi Covid19. Restrukturisasi Kredit, Keadaan Memaksa, Overmacht.
I. PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Ketika hari Rabu, 11 Maret 2020 Tedros Adhanom Ghebreyesus Direktur Umum WHO mendeklarasikan Corona Virus sebagai Global Pandemi (www.who.int, 2020), perhatian masyarakat dunia terpusat pada perkembangan penanganan kasusnya dikarenakan 114 negara telah terkonfirmasi terjangkit dan 4.291 orang meninggal dunia.
Begitupun terjadi di Indonesia, Presiden RI Joko Widodo secara terbuka melalui siaran televisi menyatakan bahwa Indonesia telah terjangkit Virus Corona kemudian menetapkan 1 (satu) peraturan dan 2 (dua) Keputusan penting :
- Keputusan Presiden No 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), pada tanggal 31 Maret 2020;
- Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang pembatasan Sosial Berskala Besar (PPSB) Dalam Rangka Percepatan Penanganan Virus Corona, 31 Maret 2020;
- Keputusan Presiden No 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid19) Sebagai Bencana Nasional, tanggal 14 April 2020;
Begitu mencekam suasana ancaman kematian akibat terjangkit COVID19 ditambah ketatnya protokol pencegahan serangan penularan COVID19 dari Pemerintah telah berdampak pada aktifitas ekonomi masyarakat.
Kementerian Keuangan RI[1] dalam konferensi persnya tanggal 01 April 2020 menginformasikan Pandemi Covid19 berpontensi melemahkan perekonomian rumah tangga, UMKM, Korporasi dan Sektor Keuangan yakni:
- Pada kelompok Rumah Tangga berupa kehilangan pendapatan, tidak dapat bekerja, tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup;
- Pada Kelompok UMKM berupa penghentian usaha, ketidakmampuan membayar kredit, NPL Kredit perbankan meningkat secara drastis;
- Pada Kelompok Korporasi, terjadi ganguan aktivitas bisnis, penurunan kinerja bisnis, PHK, bahkan Bangkrut;
- Pada Sektor Keuangan, terjadi likuidasi, insolvensy, depresiasi rupiah, volatilitas pasar keuangan dan capital flight.
Prediksi Kementerian Keuangan tersebut terbukti dengan masuknya permohonan bantuan hukum negosiasi restrukturisasi kredit dari Debitur Perbankan dan Non-Bank yang terdampak Pandemi Covid19 kepada Tim Advokasi Countercyclical Pandemi Covid19 PDKPBABEL[2].
Hanya dalam waktu 3 (tiga) bulan yakni April-Juni 2020 sejumlah 228 Debitur melakukan pendaftaran online bantuan hukum negosiasi dikarenakan beberapa kreditur baik bank maupun perusahaan pembiayaan tidak memiliki skema restrukturisasi kredit sekalipun ada, setiap debitur yang membutuhkan restrukturisasi kredit dari kreditur diwajibkan untuk mengajukan permohonan online yang telah disiapkan.
Penempatan kata “Permohonan Restrukturisasi Kredit” yang diterbitkan kreditur pada halaman websitenya merupakan teknik komunikasi negosiasi Red Herring[3] yang berupaya membangun persepsi bahwa Debitur tidak memiliki hak untuk mengajukan opsi restrukturisasi kredit.
Apalagi ditemukan persyaratan saat mengisi formulir bertanda [ □ dengan ini, saya menyatakan setuju dengan segala ketentuan yang terdapat didalam permohonan, berikan tanda conteng √ ] tentu saja menimbulkan perasaan khawatir bagi debitur untuk melanjutkan pengisian data permohonan, penyelesaian perselisihan restrukturisasi kredit akhirnya berhenti ditengah jalan.
Hampir seluruh debitur melaporkan bahwa setelah mereka mengajukan Permohonan Restrukturisasi Kredit melalui Debt Collector, Pimpinan Cabang, Email, atau Pengajuan Online melalui halaman websitenya namun tidak ditanggapi secara baik dan patut sementara surat peringatan dan penagihan terus berjalan berpotensi menimbulkan denda yang semakin besar, oleh karenanya debitur memilih mekanisme negosiasi sebagai pilihan yang paling efisien untuk mendapatkan skema restrukturisasi kredit yang win-win solution.
TABEL 1[4]
Latar Belakang Usaha Debitur Penerima Bantuan Hukum Negosiasi Restrukturisasi Kredit dari LBH Perkumpulan PDKPBABEL (April – Juni 2020)
No | Kelompok Kreditur | Jumlah |
1 | Driver Online / Taksi Online | 91 Orang |
2 | Rumah Tangga | 14 Orang |
3 | Korporasi | 20 Orang |
4 | UMKM | 59 Orang |
5 | Pekerja | 12 Orang |
6 | Pekerja Informal | 31 Orang |
TOTAL | 228 Orang |
TABEL 2
Jenis Kredit / Pembiayaan Debitur Penerima Bantuan Hukum Negosiasi
Restrukturisasi Kredit dari LBH Perkumpulan PDKPBABEL (April – Juni 2020)
No | Jenis Kredit / Pembiayaan | Jumlah |
1 | Sewa Guna Usaha (Leasing) | 187 Orang |
2 | Kredit Angsuran | 26 Orang |
3 | Kredit Modal Kerja Tahunan | 6 Orang |
4 | Kredit Perumahan | 9 Orang |
Total | 228 Orang |
Lampiran : Tabel Masyarakat Debitur Penerima Bantuan Hukum.
Pada awalnya, kehadiran Advokat / Paralegal sebagai Kuasa Hukum Debitur tidak dapat diterima dengan baik oleh Kreditur, hal ini terkonfirmasi dari lisan pihak kreditur mengatakan kepada debitur “kenapa pakai pengacara, kami ini perusahaan besar, hebat mana pengacara kalian atau kami” atau “Bayar pengacara mampu kenapa tidak mampu membayar kredit”.
Untuk itu seluruh kegiatan negosiasi yang diadakan oleh LBH PDKPBABEL ini dilakukan dengan berbiaya murah yakni sebesar Rp. 150.000,- (Seratus Lima Puluh Ribu) yang diperlukan untuk pengadaan dan ekspedisi surat dan biaya komunikasi dengan kreditur.
Secara khusus sejumlah 84 Orang Debitur yang berdomisili di Propinsi Kep Bangka Belitung sepanjang melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu[5] atau Surat Keterangan Terdampak Pandemi Covid19 dari Kepala Desa / Lurah pembiayaannya berasal dari Anggaran Bantuan Hukum Peraturan Daerah Nomor : 1 Tahun 2015 Pemerintah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung tentang Bantuan Hukum Masyarakat Miskin dengan nilai Rp. 500.000,- (Lima Ratus Ribu Rupiah) per Orang.
Dengan telah ditetapkannya Pandemi Covid19 sebagai sebagai Bencana Nasional, maka opening gambit (Penawaran Pertama) yang diadakan oleh Negosiator secara tertulis adalah mengajukan pembebasan bunga, denda dan biaya selama terjadinya Pandemi Covid19 sesuai dengan bunyi Pasal 1244 KUHPerdata[6] atau sekurang-kurangnya setelah status bencana nasional dan kedaruratan kesehatan dinyatakan dicabut oleh Pemerintah.
Namun tidak semua Kreditur menanggapi surat negosiasi tersebut dengan alasan utama bahwa Pandemi Covid19 bukanlah situasi keadaan memaksa / Overmacht dan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 11/POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 menurut Kreditur, Restrukturisasi Kredit merupakan “Hak dari Kreditur” .
Selain melalui surat, negosiasi diadakan melalui pengiriman surat eletronik (email), pesan Whatsapp, pembicaraan melalui telepon, dan pertemuan tatap muka dengan untuk menemui Pimpinan Cabang atau Kepala Kolektor (Head of Collection) dikantor cabang kreditur yang ada di Kota Pangkalpinang Propinsi Kep. Bangka Belitung.
Khusus debitur dari Perusahaan Pembiayaan justru mengalami tantangan yang lebih berat bagi tim negosiator dikarenakan harus menghadapi aksi para debt collector baik dari internal perusahaan maupun pihak ketiga yang tidak mengindahkan amanah Presiden RI Joko Widodo yang melarang kreditur untuk mengadakan penagihan dengan mendatangi rumah debitur, menerbitkan surat peringatan, menetapkan bunga dan denda, apalagi melakukan penarikan sepihak dan atau paksa ditengah Pandemi Covid19.
Menurut perusahaan pembiayaan aksi penarikan objek jaminan fiducia yang mereka adakan selain dilindungi UU No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fiducia juga dibenarkan oleh Perjanjian Pembiayaan yang diadakan oleh debitur dengan kreditur.
Sekalipun melalui surat, tim negosiator telah mencantumkan klausal keberatan atas penarikan objek jaminan fiducia tanpa melalui kekuatan eksekusi “Demi Keadilan Berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa” dari Pengadilan Negeri dengan mendalilkan Putusan Mahkamah Konstitusi No 18/PUU-XVII/2019, namun beberapa kreditur mengabaikannya dan bersikukuh untuk melakukan eksekusi terhadap mobil atau motor yang menjadi objek jaminan fiducia dengan cara-cara yang mengandung delik perbuatan penipuan, pemerasan dan pemaksaan yang ada didalam Hukum Pidana.
Hingga penelitian ini diadakan penyelesaian negosiasi perselisihan restrukturisasi kredit bagi debitur dengan mendalilkan pandemi covid19 sebagai keadaan memaksa (overmacht) berhasil ditanggapi secara baik untuk sejumlah 149 Kasus, 33 Kasus disepakati untuk dilakukan penyelesaian berupa pelunasan lebih atau penjualan dibawah tangan, sejumlah 39 kasus tanpa ada perkembangan dari debitur, 6 kasus berhasil mediasi melalui Alternatif Dispute Resolution di tingkat kepolisian dengan 1 kasus diantaranya masih ditahap penyelidikan, dan hanya 1 kasus yang penyelesaiannya telah didaftarkan sebagai Gugatan Perbuatan Melawan Hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui mekanisme Gugatan Sederhana.
Dari 33 kasus yang berhasil dengan penyelesaian dan 39 Kasus yang tidak diketahui perkembangannya, beberapa diantaranya dilaporkan oleh debitur tidak menerima surat tanda lapor/pengaduan dari kepolisian tempat dirinya melaporkan dugaan tindak pidana dibalik kegiatan eksekusi jaminan fiducia secara sepihak, sehingga tim advokasi PDKPBABEL tidak dapat memantau perkembangan penanganan laporan, disisi lain nampaknya debitur telah memutuskan untuk tidak menindaklanjuti penuntutan dan keterbatasan anggaran bagi Advokat/Paralegal sebagai penerima kuasa untuk mendampingi debitur yang berada di Belitung untuk melapor ke kepolisian.
I.2. RUMUSAN PERMASALAHAN
Berdasarkan observasi pelaksanaan layanan bantuan hukum negosiasi restrukturisasi kredit bagi debitur terdampak Pandemi Covid19 yang diadakan oleh Advokat dan Paralegal dari LBH Perkumpulan elpdkp kemudian ditinjau dari kajian peraturan perundangan serta teori dan asas hukum yang berlaku. Maka rumusan permasalahan adalah :
- Efektifitas negosiasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan sangat ditentukan oleh kesamaan pandangan antara debitur dengan kreditur menghindari penyelesaian perselisihan tentang restrukturisasi kredit melalui pengadilan dikarenakan membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama;
- Tidak dapat diterimanya Pandemi Covid19 sebagai keadaan memaksa sebagaimana diatur dalam KUHPERDATA dikarenakan sejak awal melalui perjanjian kredit maupun perjanjian pembiayaan, kreditur dan debitur telah meletakan klausal kesepakatan untuk mengingkari keadaan Overmacht, sehingga apabila pembatalan perjanjian tersebut harus diadakan oleh pihak yang ingin membatalkan yakni debitur melalui pengadilan;
- Belum adanya Revisi UU No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fiducia setelah pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) diuji oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Norma Dasar UUD NRI 1945 berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No 18/ PUU-XVII/2019 menimbulkan penanganan pengaduan dugaan tindak pidana maupun perlindungan konsumen dari kegiatan eksekusi sepihak/paksa yang masih dilakukan oleh kreditur ditengah Pandemi Covid19 masih ditanggapi secara gamang oleh Kepolisian Republik Indonesia dan Otoritas Jasa Kuangan Republik Indonesia.
II. TUJUAN
Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk memberikan masukan kepada debitur dan kreditur dalam upaya penyelesaian sengketa restrukturisasi kredit diluar pengadilan dan laporan kepada pemerintah sebagai penyelenggara upaya pemulihan ekonomi nasional ditengah pandemi covid19.
III. METODE PENELITIAN
Metode penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode pengembangan dari hasil evaluasi pelaksanaan negosiasi restrukturisasi kredit debitur terdampak Pandemi Covid19 yang diadakan oleh Advokat dan Paralegal dari Perkumpulan PDKPBABEL kemudian secara normatif melakukan analisis peraturan perundangan yang berhubungan dengan keadaan memaksa / Overmacht, Perlindungan Konsumen dan Penyelenggaraan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Coorporate Governance).
IV. Hasil dan Pembahasan
Sejak Formulir Permohonan Bantuan Hukum Negosiasi Restrukturisasi Kredit dibuka pada tanggal 10 April 2020 sampai dengan 20 Juni 2020, sejumlah 228 debitur menerima bantuan hukum dari LBH PDKPBABEL, dengan rincian 187 debitur dari Perusahaan Pembiayaan dan 26 debitur UMKM serta 6 debitur Kredit Modal Kerja dan 9 Kredit Perumahan.
Berdasarkan latar belakang pekerjaan sejumlah 91 debitur adalah tukang ojek / taksi online, 59 Orang adalah Pelaku UMKM, 31 Orang Pekerja Sektor Informal (Petani, Nelayan, Buruh Harian Lepas, dll), 14 Orang Ibu Rumah Tangga, 20 Orang adalah korporasi perhotelan, jual beli tandan buah segar, travel atau rental mobil.
Oleh karena situasi Pandemi Covid19 tidak memungkinkan diadakan pertemuan tatap muka, maka materi negosiasi penawaran pertama (Opening Gambit) dilakukan melalui pengiriman surat dengan jasa ekspedisi PT POS Indonesia maupun TIKI JNE dengan tujuan penerima adalah Pimpinan Cabang Kreditur, apabila surat tidak ditanggapi maka diadakan surat kedua, ketiga hingga seterusnya. Bukti surat dan resi pengiriman ini nantinya akan berguna sebagai alat bukti tulis yang dimaksud Pasal 1866 KUHPerdata jika sewaktu-waktu penyelesaian perselisihan harus ditempuh melalui peradilan perdata di Pengadilan Negeri.
Pasal 1866 KUHPerdata
Alat pembuktian meliputi: Bukti tertulis, Bukti saksi, Persangkaan, Pengakuan, dan Sumpah. Akan tetapi semuanya itu harus tunduk pada aturan-aturan yang tercantum dalam bab-bab yang ada di didalam KUHPERDATA
Dengan mengawali dasar hukum kegiatan Negosiasi Restrukturisasi Kredit bagi Debitur Terdampak Pandemi Covid19 adalah UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka Kreditur diharapkan menanggapi dengan serius setiap surat debitur yang diterimanya. Sebagai pelaku jasa usaha sektor keuangan dan berbadan hukum Perseroan Terbatas seluruh Kreditur sudah diwajibkan oleh Otoritas Jasa Keuangan agar melaksanakan pedoman Tata Kelola Perusahaan Yang Baik.
Pelaksanaan Negosiasi yang berlangsung sejak bulan April sampai dengan Desember 2020, pada umumnya meniitikberatkan pada pembahasan mengenai Pandemi Covid19 sebagai norma keadaan memaksa / Overmacht ditinjau dari Hukum Perjanjian, Peraturan Perundangan, Yurisprudensi dan metode penalaran dan penafsiran para hakim dalam memeriksa suatu perkara pada persidangan perdata.
IV.1. NEGOSIASI PANDEMI COVID19 SEBAGAI OVERMACHT
Mengacu pada KUHPERDATA pada Pasal 1244 KUHPerdata dikatakan bahwa “Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya”. Artinya Debitur terdampak Pandemi Covid19 yang tidak berkenan dihukum oleh kreditur dengan denda, bunga dan biaya melalui kegiatan negosiasi tertulis wajib untuk membuktikan hal tersebut, misalnya :
- Debitur mengalami penurunan pendapatan misalnya karena penutupan perkantoran, pabrik dan mall, PHK / Dirumahkan, pembatasan aktifitas penerbangan – transportasi darat – angkutan sewa khusus, pelarangan aktifitas sosial ekonomi oleh pemerintah daerah, dll.
- Debitur mengalami perubahan kemampuan yang dialami rantai pasok kegiatan usaha debitur secara drastis dan tidak terduga sehingga sebagian maupun seluruh keadaan itu tidak dapat dipersalahkan kepada debitur sebagai bentuk wanprestasi;
- Debitur sedang memanfaatkan seluruh kemampuan finansial yang masih dimilikinya untuk keperluan bertahan hidup dan belanja kesehatan rumah tangga yang menjadi kebutuhan utama semasa Pandemi Covid19 masih ditetapkan sebagai Bencana Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia;
Berikut ini beberapa testimoni debitur terdampak pandemi covid19
“Jam 7 malam, warung kami sudah disuruh tutup oleh pak lurah, polisi dan orang dinas, bagaimana kami dapat uang untuk membayar kredit?” (Ibu Fatimah – Pelaku UMKM – Debitur – PT FIF, Belitung Timur, 15 Juni 2020)
“Rantai pasok petani tidak memetik buah padahal buahnya sudah saya bayar, pabrik menghentikan pembelian, saya bisa collect 3 kalau tidak restrukturisasi kredit” (Bpk. Firma n – KMK – Debitur Bank BRI, Pangkalpinang 22 Juni 2020).
“Tiba-tiba hotel tutup, penerbangan hanya 1 perhari, usaha rental mobil sepi karena tidak ada turis kesini, saya sudah isi formulir tetapi tidak ada tanggapan malah kolektor datang menagih ke rumah”. (Bapak Yustia – Taksi Online – Debitur AF, Belitung)
Apabila pembuktian debitur tersebut dapat diterima dengan baik oleh kreditur maka negosiasi meningkat untuk membahas kesepahaman tentang penghapusan denda yang telah timbul sebelum perjanjian restrukturisasi kredit berhasil ditandatangani dengan mendalilkan bunyi Pasal 1245 KUHPerdata yakni “Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya” .
Oleh karena, kreditur telah menggunakan sistem angsuran yang berbasis aplikasi sistem komputerisasi maka tidak mudah untuk mengubah atau menghapus nilai denda yang telah muncul didalam sistem komputerisasi tersebut.
Beberapa cara yang dilakukan oleh negosiator adalah dengan mengadakan perjanjian tambahan yang memuat kesepahaman :
- Bahwa denda yang tercantum pada Custumer Report Transaction atas nama dan nomor kontrak perjanjian sejumlah (Nilai dalam Rupiah) dihapuskan dikarenakan debitur terdampak Pandemi Covid19; atau
- Bahwa denda yang tercantum pada Custumer Report Transaction atas nama dan nomor kontrak perjanjian sejumlah (Nilai dalam Rupiah) telah dibayarkan oleh debitur namun pada saat penyelesaian angsuran akan dikembalikan berupa bonus bagi debitur;atau
- Bahwa yang tercantum pada Custumer Report Transaction atas nama dan nomor kontrak perjanjian sejumlah (Nilai dalam Rupiah) mendapatkan keringanan sebesar 50%, 70% dan telah dibayarkan/
IV.2. NEGOSIASI PERLINDUNGAN KONSUMEN DARI PRAKTIK EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUCIA
Secara khusus bagi Kreditur dari Perusahaan Pembiayaan, negosiasi melalui surat telah mencantumkan frasa keberatan atas rencana eksekusi jaminan fiducia, hal ini merupakan cara melindungi kepentingan debitur sebagai konsumen terhindar dari aksi eksekusi objek jaminan fiducia yang biasanya menjadi kebiasaan pelaku usaha jasa keuangan dalam menyelesaikan kredit macet sebelum terbitnya tata tertib penyelenggaraan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019.
Dari perpektidf perlindungan konsumen didalam Pasal 4 UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa yang menjadi Hak konsumen adalah :
- Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
- Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
- Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
- Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
- Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
- Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
- Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
- Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
- Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Apabila mengacu dan memperhatikan tindakan dan perbuatan Kreditur yang mengambil alih obyek jaminan fiducia secara nyata dan jelas telah mengabaikan dan melanggar ketentuan Pasal 7 huruf a, b dan c UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Tindakan ini merupakan itikad buruk kreditur sebagai pihak didalam perjanjian pembiayaan misalnya dengan tidak memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan atau setidaknya kreditur telah memperlakukan atau melayani konsumen secara tidak benar, tidak jujur serta diskriminatif;
Sekalipun eksekusi objek jaminan fiducia anggaplah telah diadakan oleh kreditur, setidaknya melalui negosiasi , debitur telah memiliki alat bukti surat yang memenuhi unsur pertimbangan majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada tanggal 06 Januari 2020, 9 dengan Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang menguji Norma Pasal UU No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fiducia dengan norma pasal UUD NRI 1945. Berikut kutipan 9 Hakim Mahkamah Konstitusi :
“…bahwa dengan demikian telah jelas dan terang benderang sepanjang pemberi hak fidusia (debitur) telah mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi). Namun, apabila yang terjadi sebaliknya, di mana pemberi hak fidusia (debitur) tidak mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri. Dengan demikian hak konstitusionalitas pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima hak fidusia (kreditur) terlindungi secara seimbang”.
Dengan strategi bersaing (Win-Lose Bargaining) negosiator secara kompetitif mengevaluasi kegiatan eksekusi sepihak objek jaminan fiducia yang telah dilakukan kreditur sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan prinsip hukum internasional yang menerapkan Asas Justify to Failure[1] merupakan asas dasar dari suatu perjanjian yakni memperhatikan keadaan darurat.
Sebagaimana diketahui sebagian besar perusahaan pembiayaan maupun perbankan merupakan perusahaan yang memiliki kantor diluar negeri, joint venture berupa modal asing yang disetorkan.
Sebagai perusahaan transnasional seharusnya mengikuti perkembangan hukum internasional yang bersumber dari prinsip umum hukum dan doktrin yang berlaku tentang force majeure yang berasal dari Perancis, Act Of God di Daratan Inggris dan Amerika, Atau Overmacht di Belanda.
Perjanjian kredit/pembiayaan yang seluruh konsepnya disusun oleh kreditur ternyata telah dibuat untuk menyimpangi keadaan memaksa / Overmacht . Force Majeure / Act of God sebagai alasan yang memungkinkan bagi debitur untuk dibebaskan dari persangkaan wanprestasi kemudian dikenai denda bunga dan biaya.
Dengan teknik ultimatum tim negosiator dapat menosiasikan pembatalan klausal tersebut dengan menggunakan pendapat ahli hukum Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., FCBArb[2] bahwa Keadaan Memaksa yang diatur didalam Pasal 1245 KUHPerdata merupakan ketentuan hukum yang memaksa (dwingend recht).
Salah satu ciri ketentuan merupakan dwingend recht atau hanya merupakan hukum pelengkap (aanvullendrecht) adalah ketika suatu perjanjian telah menyimpangi pasal 1244-1245 KUHPerdata maka akan menimbulkan “Sesuatu yang tidak adil” dan mengakibatkan ketertiban umum terganggu, sementara tujuan dari perikatan atau perjanjian adalah untuk menjaga Ketertiban umum, Kesusilaan, Kepatutan.
Hal ini terbukti, tindakan yang diadakan pihak ketiga (Debt Collector) seperti mencegat kendaraan debitur saat sedang berada dijalanan lintas menuju Kota Bengkulu, pomp bensin di jalan tol menuju yogyakarta, di Kota Pangkalpinang dan Sungailiat Bangka merupakan perbuatan menggangu ketertiban umum dan tidak etis ditengah masyarakat (Debitur) sedang terancam hidup dan penghidupannya dari wabah Pandemi Covid19.
IV.3. NEGOSIASI PREDIKSI PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI
Keberhasilan negosiasi sangat ditentukan pada kemampuan negosiator mengkondisikan pimpinan cabang untuk menghindari penyelesaian perselisihan melalui jalur pengadilan yang memerlukan biaya yang tinggi dan waktu penyelesaian yang lama. Untuk itu negosiator perlu membangun kesediaan kreditur untuk mendiskusikan praktik penyelesaian perkara melalui pengadilan.
Didalam hukum acara peradilan seorang hakim secara ex-officio dibenarkan untuk tidak perlu menuntut agar penggugat (debitur) membuktikan sesuatu yang telah menjadi pengetahuan umum. Metode ini berlaku pada saat penggugat (debitur) akan membuktikan Pandemi Covid19 sebagai fakta hukum yang menyebabkan terjadinya ketidakmampuan penggugat (Debitur) untuk memenuhi prestasinya.
Teknik Pembuktian ini disebut dengan Fakta Notoir[3] bahwa hakim dipredikasikan telah mengetahui dan menjadi pengetahuan umum bahwa Pandemi Covid19 memang melumpuhkan perekonomian global dan nasional sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada pendapatan penggugat (Debitur).
Begitupun dengan teori pembuktian Res Ipsa Loquitor yang umumnya digunakan para hakim dengan sistem Common Law. Teori ini pernah digunakan didalam pertimbangan hakim pada suatu perkara malpraktek yang tidak perlu pembuktian apakah tertinggalnya gunting didalam perut seseorang adalah perbuatan kesalahan maupun kelalaian (malpraktek), Begitupun penggugat tidak perlu membuktikan apakah alasan Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Pandemi Covid19 sebagai Bencana Nasional atau penetapan situasi kedaruratan kesehatan nasional, atau menghadirkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai saksi untuk menerangkan pernyataannya tentang Kematian Aktifitas Eknomi (Kemenkeu, 2020), dengan konsep Res Ipsa Loquitor keputusan pemerintah tersebut telah membuktikan bahwa perselisihan yang terjadi antara debitur dan kreditur terjadi karena Indonesia sedanga dalam keadaan darurat.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Sebagai negara hukum dan negara konstitusi, Indonesia telah memiliki peraturan perundangan yang mumpuni untuk mencegah terjadinya pemiskinan struktural dari dampak Pandemi Covid19. Pemerintah Republik Indonesia melalui politik hukum “Salus Populi Suprema Lex Esto” yakni “Hukum tertinggi adalah Keselamatan Rakyat” telah menerbitkan keputusan yang dapat diterapkan bagi debitur sebagai dasar hukum yang mendalilkan bahwa Pandemi Covid19 adalah bencana non alam yang menimbulkan keadaan darurat kesehatan kemudian ditetapkan sebagai bencana nasional.
Dengan adanya keputusan negara berupa Keputusan Presiden No 11 Tahun 2020 dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 maka tidak sulit bagi debitur untuk mendalilkan Pandemi Covid adalah keadaan memaksa yang menyebabkan tidak dapat sebagian maupun seluruhnya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur apabila tidak dapat berprestasi sementara waktu sehingga Debitur menyatakan keberatan terhadap tuntutan wanprestasi dari kreditur.
Namun untuk mencapai kesepakatan bagaimana bentuk perjanjian restrukturisasi kredit bagi debitur yang terdampak Pandemi Covid19, negosiasi adalah salah satu cara yang efisien dibenarkan dalam sistem hukum Indonesia melalui UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Perdata) dibandingkan penyelesaian melalui pengadilan karena memerlukan biaya yang besar dan waktu yang lama.
Untuk itu akan lebih baik negosiasi yang dilakukan adalah dengan pendekatan teori dan praktik hukum, sehingga seluruh opsi dan konsesi yang ditawarkan para pihak akan dibangun melalui argumentasi yang berdasarkan kaidah hukum yang berlaku bukan semata berdasarkan subjektifitas salah satu pihak yang merasa paling dirugikan.
Secara khusus untuk perjanjian pembiayaan yang diikuti dengan perjanjian fiducia, Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan Putusan Nomor 18/PUU-VXII/2019 yang menguji norma pasal UU No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fiducia dengan norma pasal UUD NRI 1945. Oleh karena putusan tersebut baru dibacakan pada tanggal 06 Januari 2020 kemudian pada bulan maret 2020 Indonesia dilanda Pandemi Covid19 maka untuk menjamin tidak terjadinya pelanggaran hak konstitusi warga negara dari praktik eksekusi objek jaminan fiducia secara sepihak atau tanpa sukarela oleh kreditur apalagi melalui jasa Debt Collector yang biasanya bertindak main hakim sendiri, maka perlu diadakan :
- Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan Surat Edaran tentang Penanganan Perlindungan Konsumen dari Praktik Eksekusi Jaminan Fiducia secara Sepihak dengan meletakan Putusan Mahkamah Konstitusi No: 18/PUU-XVII/2019 sebagai konsideran menimbang;
- Kepolisian Republik Indonesia mencabut Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fiducia dan menerbitkan PERKAP tentang Penanganan Laporan Eksekusi Jaminan Fiducia Secara Seppihak dengan meletakan Putusan Mahkamah Konstitusi No: 18/PUU-XVII/2019 sebagai konsideran menimbang;
- Kementerian Hukum dan HAM RI melalui Dirjen Fiducia menerbitkan Surat Edaran Pelarangan Eksekusi Jaminan Fiducia Secara Sepihak Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No: 18/PUU-XVII/2019.
- DAFTAR PUSTAKA
Buku
- RM Gatot P. Sumartono – Suyud Margono, Arbitrase, Mediasi dan Negosiasi, Universitas Terbuka.
- R. Benny Rijanto, Hukum Acara Perdata, Universitas Terbuka.
- Nur Syarifah – Reghi Perdana, Hukum Perjanjian, Universitas Terbuka.
- Daryono – Triyanto – Seno Wibowo Gumbira, Interpretasi dan Penalaran Hukum, Universitas Terbuka.
- Joko Setiyono, Hukum Pidana Internasional, Universitas Terbuka.
- Susilowati S Dajaan – Agus Suwandono – Deviana Yuanitasari, Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Terbuka.
Peraturan Perundang-Undangan
- Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Prof. R Subekti, SH & R. Tjitrosudibio;
- Undang – Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fiducia;
- Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
- Keputusan Presiden No 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), pada tanggal 31 Maret 2020;
- Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang pembatasan Sosial Berskala Besar (PPSB) Dalam Rangka Percepatan Penanganan Virus Corona, 31 Maret 2020;
- Keputusan Presiden No 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid19) Sebagai Bencana Nasional, tanggal 14 April 2020;
- Peraturan Daerah Nomor : 1 Tahun 2015 Pemerintah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung tentang Bantuan Hukum Masyarakat Miskin;
- Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fiducia;
- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 11 /POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.
Lainnya,
- Akreditasi Perkumpulan PDKPBABEL oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-01.HH.07.02 Tahun 2018;
- Keputusan Badan Pengurus Perkumpulan Lembaga Pusat Dukungan Kebijakan Publik Bangka Belitung (PDKPBABEL) Nomor : SK-004/PDKP-Babel/IV/2020 Tentang Pembentukan Tim Advokasi Countercyclycal Pandemi Covid-19;
- Contoh Surat Negosiasi Tim Advokasi Debitur Terdampak Pandemi Covid19 Perkumpulan PDKPBABEL;
- Contoh Surat Pengaduan Konsumen Ke OJK RI;
- Contoh Surat Pengaduan ke Kepolisian Republik Indonesia
- Contoh Surat Legal Opinion ke Kementerian Koperasi dan UMKM, diterima langsung oleh Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki.
[1] BMP, Hukum Pidana Internasional, Universitas Terbuka, Hal 4.25
[2] Keterangan Saksi Ahli, Putusan MK Nomor : 18/PUU-XVII/2019, Mahkamah Konstitusi Hal 104-105
[3] BMP, Hukum Acara Perdata, Universitas Terbuka, Hal 8.16-8.17
[1] Langkah Penguatan Perlindungan Sosial Dan Stimulus Ekonomi Menghadapi Dampak Covid-19, Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 01 April 2020
[2] PDKPBABEL adalah Organisasi Pemberi Bantuan Hukum terakreditasi Kementerian Hukum dan HAM RI sejak tahun 2014 sebagai Pelaksana UU No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan Perda No. 1 Tahun 2015 Pemerintah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung tentang Bantuan Hukum Masyarakat Miskin.
[3] BMP HKUM4409, Arbitrase, Mediasi dan Negosiasi, Universitas Terbuka, Hal 3.10
[4] Pengolahan data Debitur Penerima Bantuan Hukum Perkumpulan PDKPBABEL (terlampir)
[5] Persyaratan Formil Pemohon Bantuan Hukum menurut PP No 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum.
[6] R. Subekti & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT Balai Pustaka, Bandung.
Leave a Reply